Selasa, 18 Maret 2014

Manajemen Berbasis Sekolah


MANAJEMEN BERBASIS sekolah

A.    Pengertian Manajemen Berbasis Kelas
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah ( pelibatan masyarakat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Lebih lanjut istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi. Dalam hal ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Pengertian manajemen menurut Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan pada kita bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, maka kita tidak bergerak sendiri, tetapi membutuhkan orang lain untuk bekerja sama dengan baik. Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu: merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation). Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
B.     Tujuan Manajemen Berbasis Kelas
a.       Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia;
b.      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
c.       Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
d.      Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut:
a.    Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
b.    Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c.    Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d.   Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
C.    Manfaat Manajemen Berbasis Kelas
MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya
a.       Dengan kondisi setempat, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugasnya;
b.      Keleluasaan dalam mengelola sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah;
c.       Guru didorong untuk berinovasi;
d.      Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik
D.    Paradigma Manajemen Berbasis Sekolah
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka sebagai konsekwensi logis bagi manajemen pendidikan di Indonesia adalah perlu dilakukannya penyesuaian terhadap manajemen paradigma lama menuju manajemen paradigma baru yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis Pergeseran paradigma pendidikan dasar dan menengah telah tercermin dalam visi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN 1999 ” mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas sehat, disiplian, bertanggung jawab, trampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.”Amanat GBHN ini menyiratkan suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponen bangsa terhadap prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun dalam mempersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era tanpa batas ke depan.
MBS bermaksud mengembalikan sekolah kepada pemiliknya dalam arti yang mengetahui perkembangan sekolah baik di bidang mutu maupun lainya tergantung pada sekolah dan masyarakat partisipannya. Kepala sekolah merupakan orang yang paling tahu tentang prestasi guru-gurunya, kekurangan buku, sarana-prasarana yang menyangkut proses pembelajaran. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekolahnya.
Salah satu cara menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demoktratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah guru, dan masyarakat adalah peran utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputuisan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan keberhasilan pendidikan di sekolah., karena mereka adalah pembayar pendidikan baik melalui uang sekolah maupun pajak sehingga sudah sewajarnya sekolah bertangggung jawab kepada masyararakat.Bentuk stakeholder masyarakat tersebut adalah Dewan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan di tingkat kota/kabupaten Kemandirian sekolah sangat diharapkan oleh pemerintah terutama pada kebijakan desentralisasi pendidikan.Namun untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan diperlukan program yang sistematis dengan melakukan ” capasity building ”Untuk melakukan kegiatan ” capasity building ” perlu tahapan-tahapan agar arahnya terarah dan terukur . Ada empat tahapan yang perlu dilalui untuk kegiatan tersebut . Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang mempunyai karateristik yang setara. Capasity building dilakukan untuk meningkatkan ( up grade ) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap tersebut adalah:
1.      Tahap Pra format, ialah tahap dimana satuan pendidkan belum memiliki standar formal pendidikan masih belum terpenuhi sebagai sumber-sumber pendidikan dan perlu ditingkatkan ke tahap berikutnya.
2.      Tahap Formalitas, ialah sekolah yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan secara minimal. Satuan pendidikan tersebut sudah memiliki standar teknis minimal seperti kualifikasi guru, juimlah dan kualitas ruang kelas, kualitas buku serta j7umlah kualitas pendidikan lainnya. Dengan capasity building sekolah dapat meningkatkan kemampuan administratur dan pelaksanaan pendidikandan dapat meningkatkan pembelajarannya lebih kreatif dan inovatif. Jika satuan pendidikan tersebut sudah berhasil ditingkatkan lagi ke tingkat transsional. Keberhasilan tersebut dapat diukur dengan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama menyangkut output pendidikan seperti penurunan tingkat putus sekolah, mengulang kelas , kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.
3.      Tahap Transisional, ialah satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal. Meningkatkan kreativitan guru , pendayagunaan perpustakaan, sekolah secara optimal.
4.      Tahap otonomi, pada tahap ini dapat dikatakan sekolah sudah mencapai tahap penyelesaian capasity building menuju profesionalisme pendidikan ke pelayanan pendidikan yang bermutu.Satuan pendidikan sudah dianggap dapat memberikan pelayanan di atas Standar Pelayanan Minimal dan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu antara lain:
1.        Melaksanakan program menjadi merumuskan/melaksanakan program.
2.        Keputusan terpusat menjadi keputusan bersama/partisipatif.
3.        Ruang gerak terbatas menjadi ruang gerak fleksibel.
4.        Sentralistik menjadi desentralistik.
5.        Individual menjadi kerjasama
6.        Basis birokratik menjadi basis profesional
7.        Diatur menjadi mandiri
8.        Malregulasi menjadi deregulasi
9.        Informasi terbatas menjadi informasi terbuka
10.    Boros menjadi efisien
11.    Pendelegasian menjadi pemberdayaan
12.    Organisasi vertical menjadi organisasi horizontal
Pada paradigma lama, tugas dan fungsi sekolah hanya melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program yang dibuat sendiri oleh sekolah.
E.     Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah
Model Berbasis Kelas adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara bersama/partisipatif. Untuk memenuhi kebutuhan sekolah atau untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Otonomi diartikan kemandirian, artinya otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kebutuhan warga sekolah yang didukung kemampuan tertentu sesuai dengan peraturan perundang- undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan bersama merupakan cara pengambilan keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratis dimana warga sekolah langsung terlibat dalam pengambilan keputusan. Sekolah dapat memberdayakan warga sekolah berupa pemberian kewenangan, tanggung jawab, kebersamaan dalam pemecahan masalah serta pemberian kepercayaan dan penghargaan.
Manajemen Berbasis Sekolah memiliki karateristik yang harus dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya yang meliputi komponen pendidikan dan perlakuannya pada setiap tahap pendidikan input, prose dan outputnya. Pada hasil pendidikan (output ) diharapkan mendapatkan prestasi akademik dan non akademik. Prestasi akademik misalnya NEM, lomba karya ilmiah, olympiade, siswa berprestasi. Sedangkan non akademin berupa kesenian, olah raga, kejujuran, kerajinan, pramuka dan lain-lain. Pada proses pendidikan biasanya penekanannya pada :
1.      Proses Belaja Mengajar yang efektifitasnya tinggi .
Proses belajar mengajar yang menekankan pada bekerja, belajar hidup bersama dan belajar menjadi diri sendiri.
2.      Kepemimpinan sekolah yang tangguh.
Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kepemimpinan yang tangguh , kuat dan mampu meningkatkan mutu sekolah sesuai dengan visi, misi tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
3.      Lingkungan sekolah yang tertib, aman, dan nyaman.
4.      Pengelolaan tenaga pendidikan yang efektif .
Kebutuhan tenaga, analisis, perencanaan, pengembangan, evaluasi, hubungan kerja.
5.      Sekolah memiliki budaya mutu.
Sekolah memiliki kualitas informasi untuk perbaikan hasil diikuti penghargaan atau sanksi, warga merasa aman, warga sekolah merasa memiliki sekolah.
6.      Sekolah memiliki kebersamaan yang kompak.
Sekolah memiliki budaya kerjasama antar individu tanpa adanya kelompok-kelompok tertentu yang dapat menghambat kemajuan sekolah.
7.      Sekolah memiliki kewenangan.
Kewenangan sekolah merupakan kesanggupan kerja dan tidak menggantungkan orang lain . Kepala sekolah mempunyai kreatifitas yang tinggi untuk menuju sekolah yang lebih baik.
8.      Partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
Hubungan antara sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupan sekolah yang paling tinggi terutama di bidang non akademik dan akademik.
9.      Keterbukaan ( transparasi ) manajemen.
Masalah manajemen perlu keterbukaan antara warga sekolah dan masyarakat terutama komite sekolah. Apalagi manajemen tersebut menyangkut perencanaan anggaran (RAPBS) dan penggunaan uang sekolah. Komite sekolah harus tahu terutama menyangkut anggaran sekolah. Contoh : DOP, BOS, Block Grant, dan anggaran rutin sekolah .
10.  Sekolah memiliki kemauan untuk berubah
Perubahan sekolah diharapkan menuju yang lebih baik. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan fisik sekolah, prestasi akademik dan non akademik.
11.  Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan.
Evaluasi bukan sekedar untuk memenuhi daya serapp siswa menerima pelajaran. Namun, evaluasi dapat dipakai tolak ukur untuk meningkatkan mutu sekolah pada proses belajar mengajar selanjutnya. Sekolah harus selalu melaksanakan evaluasi secara terus menerus baik berupa pengayaan dan perbaikan untuk siswa demi peningkatan mutu di sekolah.
12.  Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan.
Sekolah harus mampu mengantisipasi setiap kejadian yang adaa di sekolah terutama menyangkut mutu sekolah. Sekolah tidak pasif melainkan anatisipatif mencari ke sekolah – sekolah lain atau ke lembaga-lemabaga pendidikan dengan kata lain menjemput bola demi kemajuan sekolah.
13.  Sekolah memiliki komunikasi yang baik.
Sekolah memiliki komunikasi yang baik terutama antara warga sekolah.Kebersamaan antar warga sekolah dapat mengantar sekolah ke hal-hal yang lebih bermutu. Contoh Kelompok Kerja Guru di setiap Gugus Sekolah.
14.  Sekolah memiliki Akuntabilitas.
Sekolah memiliki tanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan penyelenggaraan program sekolah. Akuntabilitas berbentuk laporan prestasi yang harus dilaporkan kepada pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program, pemerintah dapat menilai apakah program MBS dapat mencapai tujuan atau tidak. Jika mencapai tujuan maka diberi penghargaan atau sebaliknya jika tidak berhasil perlu diberikan sanksi atau teguran atas kinerjanya yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan para orang tua murid dapat memberikan penilaian terhadap program MBS yang dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya atau kinerja sekolahnya. Jika berhasil orang tua dapat memberikan dorongan dan semangat kepada sekolah,atau sebaliknya jika tidak berhasil orang tua dapat meminta pertanggung jawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan yang telah dilakukan.
Pada input pendidikan,
1.      Pendidikan memiliki kebijakan, tujuan dari sasaran program yang jelas.
Kebijakan tujuan dan sasaran sekolah harus disosialisasikan kepada semua warga sekolah,sehingga tertanam pemikiran,tindakan,kebiasaan dan karakter yang kuat o- leh warga sekolah.
2.      Sumber daya yang tersedia.
Sekolah harus memiliki sumberdaya yang kuat baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya lainnya berupa uang, peralatan, perlengkapan, bahan dan lain-lain.
3.      Staf yang kompeten dan dedikasi tinggi.
4.      Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
Kepala sekolah memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi untuk mencapai prestasi serta anak didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
5.      Fokus pada pelanggan
Anak didik merupakan fokus utama semua kegiatan proses pembelajaran yang dikerahkan di sekolah dengan tujuan utama untuk meningkatkan mutu dan kepuasan siswa.


6.      Manajemen
Kelengkapan dan kejelasan manajemen yang dibutuhkan sekolah akan membantu kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan efektif.
F.     Peningkatan mutu secara berkelanjutan
Prinsip utama pelaksanaan MBS ada 5 (lima) hal yaitu:
1.      Fokus pada mutu
2.      Bottom-up planning and decision making
3.      Manajemen yang transparan
4.      Pemberdayaan masyarakat
Dalam mengimplementasikan MBS terdapat 4 (empat) prinsip yang harus difahami yaitu:
1.      kekuasaan;
Kekuasaan Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem pendidikan sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk memungkinkan sekolah berjalan dengan efektif dan efisien. Kekuasaan yang dimiliki kepala sekolah akan efektif apabila mendapat dukungan partisipasi dari berbagai pihak, terutama guru dan orangtua siswa. Seberapa besar kekuasaan sekolah tergantung seberapa jauh MBS dapat diimplementasikan. Pemberian kekuasaan secara utuh sebagaimana dalam teori MBS tidak mungkin dilaksanakan dalam seketika, melainkan ada proses transisi dari manajemen yang dikontrol pusat ke MBS.
Kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan dengan demokratis antara lain dengan:
a)      Melibatkan semua fihak, khususnya guru dan orangtua siswa.
b)      Membentuk tim-tim kecil di level sekolah yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugasnya
c)      Menjalin kerjasama dengan organisasi di luar sekolah.
2.      pengetahuan;
Pengetahuan Kepala sekolah dan seluruh warga sekolah harus menjadi seseorang yang berusaha secara terus menerus menambah pengetahuan dan keterampilan dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) lewat berbagai pelatihan atau workshop guna membekali guru dengan berbagai kemampuan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Pengetahuan yang penting harus dimiliki oleh seluruh staf adalah:
a)      Pengetahuan untuk meningkatkan kinerja sekolah,
b)      Memahami dan dapat melaksanakan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan quality assurance, quality control, self assessment, school review, bencmarking, SWOT,dll)
3.      sistem informasi;
Sistem Informasi Sekolah yang melakukan MBS perlu memiliki informasi yang jelas berkaitan dengan program sekolah. Informasi ini diperlukan agar semua warga sekolah serta masyarakat sekitar bisa dengan mudah memperoleh gambaran kondisi sekolah. Dengan informasi tersebut warga sekolah dapat mengambil peran dan partisipasi. Disamping itu ketersediaan informasi sekolah akan memudahkan pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas sekolah. Infornasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah antara lain yang berkaitan dengan: kemampuan guru dan Prestasi siswa.
4.      sistem penghargaan.
Sistem Penghargaan Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan untuk memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang berprestasi. Sistem penghargaan ini diperlukan untuk mendorong karier warga sekolah, yaitu guru, karyawan dan siswa.
G.    Proses Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
Banyak manfaat yang telah dapat dirasakan baik oleh pemerintah daerah maupun pihak sekolah yang secara langsung menjadi sasaran pelaksanaan. Hal ini karena dalam melaksanakan program-program ini diterapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS), mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan proses pelaporan dan umpan baliknya.
Dengan kata lain program-program yang dilaksanakan menganut prinsip-prinsip demokratis, transparan, profesional dan akuntabel. Melalui pelaksanaan program ini para pengelola pendidikan di sekolah termasuk kepala sekolah, guru, komite sekolah dan tokoh masyarakat setempat dilibatkan secara aktif dalam setiap tahapan kegiatan. Disinilah proses pembelajaran itu berlangsung dan semua pihak saling memberikan kekuatan untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan sekolah.
Adapun proses penerapan MBS dapat ditempuh antara lain dengan langkah-langkah sbb :
Ø  Memberdayakan komite sekolah/majelis madrasah dalam peningkatan mutu pembelajaran di sekolah
Ø  Unsur pemerintah Kab/Kota dalam hal ini instansi yang terkait antara lain Dinas Pendidikan, Badan Perencanaan Kab/Kota, Departemen Agama (yang menangani pendidikan MI, MTs dan MA), Dewan Pendidikan Kab/Kota terutama membantu dalam mengkoordinasikan dan membuat jaringan kerja (akses) ke dalam siklus kegiatan pemerintahan dan pembangunan pada umumnya dalam bidang pendidikan.
Ø  Memberdayakan tenaga kependidikan, baik tenaga pengajar (guru), kepala sekolah, petugas bimbingan dan penyuluhan (BP) maupun staf kantor, pejabat-pejabat di tingkat kecamatan, unsur komite sekolah tentang Manajemen Berbasis Sekolah, pembelajaran yang bermutu dan peran serta masyarakat.
Ø  Mengadakan pelatihan dan pendampingan sistematis bagi para kepala sekolah, guru, unsur komite sekolah pada pelaksanaan peningkatan mutu pembelajaran
Ø  Melakukan supervisi dan monitoring yang sistematis dan konsisten terhadap pelaksanaan kegiatan pembelajaran di sekolah agar diketahui berbagai kendala dan masalah yang dihadapi, serta segera dapat diberikan solusi/pemecahan masalah yang diperlukan.
Ø  Mengelola kegiatan yang bersifat bantuan langsung bagi setiap sekolah untuk peningkatan mutu pembelajaran, Rehabilitasi/Pembangunan sarana dan prasarana Pendidikan, dengan membentuk Tim yang sifatnya khusus untuk menangani dan sekaligus melakukan dukungan dan pengawasan terhadap Tim bentukan sebagai pelaksana kegiatan tersebut.
H.    Faktor Pendukung Keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah
1.      Kepemimpinan dan manajemen sekolah yang baik
MBS aan berhasi jika ditopang oleh kemampuan professional kepala sekolah atau madrasah dalam memimpin dan mengelola sekolah atau madrasah secara efektif dan efisien, serta mampu menciptakan iklim organisasi yang kondusif untuk proses belajar mengajar.
2.      Kondisi social, ekonomi dan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan
Faktor eksternala yang akan turut menentukan keberhasilan MBS adalah kondisi tingkat pendidikan orangtua siswa dan masyarakat, kemampuan dalam membiayai pendidikan, serta tingkat apresiasi dalam mendorong anak untuk terus belajar.
3.      Dukungan pemerintah
Faktor ini sangat membantu efektifitas implementasi MBS terutama bagi sekolah atau madrasah yang kemampuan orangtua/ masyarakatnya relative belum siap memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan. alokasi dana pemerintah dan pemberian kewenangan dalam pengelolaan sekolah atau madrasah menjadi penentu keberhasilan.


4.      profesionalisme
Faktor ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan kinerja sekolah atau madrasah. Tanpa profesionalisme kepala sekolah atau madrasah, guru, dan pengawas, akan sulit dicapai program MBS yang bermutu tinggi serta prestasi siswa.
I.       Tugas dan Fungsi Sekolah
Tugas dan fungsi sekolah adalah mengelola penyelenggaraan MBS di sekolah masing-masing. Mengingat sekolah merupakan unit terdepan dalam penyelenggaraan MBS, maka sekolah menjalankan tugas dan fungsi sebagai berikut :
1.      Menyusun rencana dan program pelaksanaan MBS dengan melibatkan semua unsur sekolah
2.      Mengkoordinasikan dan menyerasikan segala sumberdaya yang ada di sekolah dan di luar sekolah untuk mencapai sasaran MBS yang telah ditetapkan.
3.      Melaksanakan MBS secara efektif dan efisien
4.      Melaksanakan pengawasan dan bimbingan dalam pelaksanaan MBS untuk mencapai sasaran MBS
5.      Pada setiap akhir tahun ajaran melakukan evaluasi untuk menilai tingkat ketercapaian sasaran program MBS yang telah ditetapkan guna untuk menentukan sasaran baru pro- gram MBS tahun-tahun berikutnya.
6.      Menyusun laporan-laporan program MBS secara lengkap
7.      Mempertanggungjawabkan hasil penyelenggaraan MBS kepada semua pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan uraian di atas dalam pelaksanaan MBS perla dilakukan monitoring dan evaluasi dengan tujuan dapat mengukur tingkat kemajuan pendidikan baik pada tingkat sekolah, dinas pendidikan tingkat kota/kabupaten, dinas propinsi maupun pusat. Monitoring menghasilakn informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan.
Dengan monitoring sdan evaluasi kita dapat melihat apakah MBS benar-benar mampu menyelenggarakan sekolah dengan baik khususnya dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Monitoring hádala statu proses pemantauan untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan MBS. Fokus monitoring pada pelaksanaannya. Hasil monitoring dapat digunakan untuk memberi masukan ( umpan balik ) bagi perbaikan pelaksanaan MBS baik pada konteks, input, proses, output maupun dampaknya.




J.      Strategi Sukses Implementasi MBS
1.      Strategi Sukses Implementasi MBS
Beberapa prinsip MBS yang dapat digunakan sebagai acuan bagi sekolah dalam menerapkan MBS, yaitu otonomi sekolah, fleksibilitas, partisipasi dan akuntabilitas untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Menurut Wohlstetter dan Mohrman, dkk. (1997), terdapat empat kewenangan (otonomi) dan tiga prasyarat yang bersifat organisasional yang seharusnya dimiliki sekolah dalam mengimplementasikan MBS. Hal itu berkaitan dengan: (1) kekuasaan (power) untuk mengambil keputusan, (2) pengetahuan dan keterampilan, termasuk untuk mengambil keputusan yang baik dan pengelolaan secara profesional, (3) informasi yang diperlukan oleh sekolah untuk mengambil keputusan, (4) penghargaan atas prestasi (reward), (5) panduan instruksional (pembelajaran), seperti rumusan visi dan misi sekolah yang menfokuskan pada peningkatan mutu pembelajaran, (6) kepemimpinan yang mengupayakan kekompakan (kohesif) dan fokus pada upaya perbaikan atau perubahan, serta (7) sumber daya yang mendukung.
Di samping itu, penerapan MBS di sekolah juga hendaknya memperhatikan karakteristik dari MBS, baik dilihat dari aspek input, proses dan output. Pemahaman terhadap prinsip MBS dan karaketeristik MBS akan membawa sekolah kepada penerapan MBS yang lebih baik. Pada akhirnya mutu pendidikan yang diharapkan dapat tercapai dan dipertanggungjawabkan, karena pelaksanaannya dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Menurut Slamet P.H (2001), pelaksanaan MBS merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, strategi utama yang perlu diditempuh dalam melaksanakan MBS adalah sebagai berikut.
v  Pertama, mensosialiasikan konsep MBS. Sosialisasi dilakukan kepada seluruh warga sekolah, yaitu guru,siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, dan sebagainya) melalui seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media masa dengan memperhatikan sistem, budaya, dan sumber daya sekolah.
v  Kedua, melakukan analisis situasi. Analisis sistuasi akan menghasilkan tantangan nyata, yang harus dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah kesenjangan antara keadaan sekarang dan keadaan yang diharapkan. Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan (idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan yang ada.
v  Ketiga, merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai melalui pelaksanaan MBS, berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi. Kriteria kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria ini digunakan sebagai standar atau kriteria untuk mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.
v  Keempat, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud di antaranya meliputi pengem-bangan: kurikulum, tenaga kependidikan dan nonkependidikan, siswa, iklim akademik sekolah, hubungan sekolah-masyarakat, fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
v  Kelima, menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan setiap fungsi harus memadai. Paling tidak memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal, serta peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan sebagai kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal, dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal.
v  Keenam, memilih langkah-langkah pemecahan masalah atau tantangan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakikatnya merupakan tindakan mengatasi kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang. Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor kekuatan dan/atau peluang.
v  Ketujuh, membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, berikut program-program untuk merealisasikan rencana tersebut. Perencanaan itu dilakukan secara partisipatif dan berdasarkan pada pemecahan masalah. Sekolah tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk rencana jangka pendek, menengah, dan panjang.
v  Kedelapan, melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Kesembilan, melakukan pemantauan serta evaluasi proses hasil MBS. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan. Sementara hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan.
Nurkholis (2003:132) mengemukakan sembilan strategi keberhasilan implementasi MBS.
1)      Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan ketrampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian, serta pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Mulyasa (2005: 41) menyatakan bahwa salah satu bentuk otonomi sekolah adalah kebijakan pengembangan kurikulum yang mengacu kepada standar kompetensi, kompetensi dasar, dan standar isi, serta pembelajaran beserta sistem evaluasinya, sepenuhnya menjadi wewenang sekolah, yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan masyarakat yang dilakukan secara fleksibel.
2)      Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan pembelajaran dan non- pembelajaran. Menurutnya, sekolah harus lebih banyak mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun sekolah adalah bagian dari masyarakat secara luas. Wujud dari partisipasi masyarakat dan orang tua siswa bukan hanya sebatas dalam bantuan dana, tetapi lebih dari itu dalam memikirkan peningkatan kualitas sekolah. Misalnya, partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan mengembangkan program-program pendidikan. 
3)      Ketiga, adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif. Kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Dalam MBS kepala sekolah berperan sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Oleh karena itu, pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan, dan bukan lagi didasarkan atas jenjang kepangkatan. Menurut Mulyasa (2005:98), Kepala Sekolah merupakan “sosok kunci” (the key person) keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dalam kerangka implementasi MBS. Oleh karena itu, dalam implementasi MBS kepala sekolah harus memiliki visi, misi, dan wawasan yang luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan profesional dalam mewujudkannya melalui perencanaan, kepemimpinan, manajerial, dan supervisi pendidikan. Kepala sekolah juga dituntut untuk menjalin kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah. Singkatnya, dalam implementasi MBS, kepala sekolah harus mempu berperan sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator.
4)      Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang efektif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orangtuanya, serta masyarakat dan para guru.
5)      Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi tentang konsep MBS.
6)      Keenam, adanya panduan (guidelines) dari Departeman Pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Dengan dasar hukum pelaksanaan MBS yang tertuang adalam UU No. 25 Tahun 2000, dan UU No. 20 Tahun 2003, Departemen Pendidikan diharapkan memberikan panduan sebagai rambu-rambu dalam pelaksanaan MBS yang sifatnya tidak mengekang dan membelenggu sekolah.
7)      Ketujuh, sekolah harus transparan dan akuntabel yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggungjawaban tahunan. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap semua stakeholder. Untuk itu, sekolah harus dikelola secara transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak terkait.
8)      Kedelapan, penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah, khususnya pada peningkatan prestasi belajar siswa.
9)      Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialisasi konsep MBS, identifikasi peran masing-masing, pembangunan kelembagaan (capacity building), pengadaan pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, monitoring dan evaluasi, serta melakukan perbaikan-perbaikan.
Di samping itu, pelaksanaan MBS perlu didukung oleh iklim sekolah yang memadai, yaitu iklim sekolah yang kondusif bagi terciptanya suasana yang aman, nyaman dan tertib, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoyable learning). Iklim sekolah akan mendorong terwujudnya proses pembelajaran yang efektif, yang lebih menekankan pada learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Untuk mendukung semua itu, sekolah perlu dilengkapi oleh sarana dan prasarana pendidikan, serta sumber-sumber belajar yang memadai.
2.      Faktor Pendukung Kesuksesan Implementasi MBS
Menurut Nurkholis (2003:264), ada enam faktor pendukung keberhasilan implementasi MBS. Keenamnya mencakup: political will, finansial, sumber daya manusia, budaya sekolah, kepemimpinan, dan keorganisasian.  Keberhasilan implementasi MBS di Indonsia tidak terlepas dari dasar hukum implementasi MBS yang tertuang dalam berbagai kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah juga sebagai dasar bagi sekolah untuk lebih leluasa dalam mengembangkan pendidikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Salah satu contoh dukungan pemerintah dalam pelaksanaan MBS, adalah adanya panduan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).
Aspek finansial atau keuangan merupakan faktor penting bagi sekolah dalam mengimplementasikan MBS. Kalau mencemati perjalanan implementasi MBS di Indonesia, perhatian pemerintah dari aspek finansial dalam mendukung implementasi MBS di Indonesia baru dirasakan secara langsung melalui pemberian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
Mulai Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2007 ini, implementasi MBS mendapatkan dukungan dari lembaga-lembaga donor internasional dan negara-negara tetangga, di antaranya adalah Unesco, New Zealand Aid, Asian Development Bank, USAID, dan AusAID. Yang paling menyedihkan adalah banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang setiap tahunnya memberikan laporan keuntungan yang sangat besar, tetapi kontribusinya terhadap pendidikan masih sangat rendah. Di samping itu, walaupun UUD 1945 yang diamandemen mengamanatkan bahwa pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%, namun dalam prakteknya masih sangat sulit diterapkan. Jika dukungan pemerintah melalui alokasi anggaran pendidikan 20% dipenuhi, sebagian dana pendidikan tersebut dapat digunakan untuk mendukung kesuksesan implementasi MBS.
Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan implementasi MBS. Ketersedian sumber daya manusia yang mendukung implementasi MBS belum cukup. Karena MBS merupakan hal yang baru dan hanya sebagian orang yang mempunyai keahlian dan keterampilan dalam mendukung implementasi MBS. Oleh karena itu, dukungan untuk on the job training, atau in service training dalam kerangka peningkatan pengetahuan dan kemampuan tentang MBS perlu dilakukan.
Faktor budaya sekolah rata-rata belum bisa mendukung kesuksesan implementasi MBS. Perubahan dari budaya sekolah yang telah lama terbentuk dengan manajemen pendidikan yang sentralistik menuju manajemen pendidikan yang sentralistik masih sulit dilaksanakan. Budaya yang hanya melaksanakan apa yang ditetapkan pusat masih melekat pada sebagian besar sekolah. Masih banyak warga sekolah yang tidak perduli terhadap kemajuan sekolahnya. Oleh karena itu, perlu dibangun budaya sekolah yang mendukung implementasi MBS, seperti budaya untuk maju, bekerja keras, inovatif, dan sebagainya untuk mencapai peningkatan mutu sekolah.
Kepemimpinan dan organisasi yang efektif merupakan faktor penting lainnya untuk keberhasilan implementasi MBS. Kepemimpinan yang efektif tercapai apabila kepala sekolah memiliki kemampuan profesional di bidangnya, memiliki bakat atau sifat, serta memahami kondisi lingkungan sekolah dalam menerapkan kepemim-pinannya. Kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang mampu berperan sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator. Di samping itu, sekolah sebagai organisasi harus diubah dan dikembang-kan. Perubahan dan pengembangan organisasi sekolah harus diawali dari perubahan individu dan lingkungan kerja secara bertahap, sehingga perubahan sekolah akan berjalan baik apabila perubahan organisasi itu berdampak pada perbaikan kehidupan para guru dan stafnya.
3.      Ukuran Keberhasilan Implementasi MBS
Salah satu ukuran penting yang dapat dilihat dan dirasakan masyarakat terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah adalah prestasi belajar siswa. Ukuran keberhasilan implementasi MBS tidak terlepas dari tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, khususnya pilar ke dua dan ketiga, yaitu pemerataan dan peningkatan akses serta peningkatan mutu dan tata layanan.  Pada aspek pemerataan dan peningkatan akses, keberhasilan MBS dapat dilihat dari kemampuan sekolah dan daerah dalam menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. MBS dikatakan berhasil apabila jumlah anak usia sekolah yang bersekolah meningkat, khususnya dari kelompok masyarakat berasal dari daerah pedesaan dan terpencil, keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya, gender, serta penyandang cacat. Ukuran-ukuran kuantitatif yang dapat digunakan adalah nilai angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi murni (APM), angka transisi (AT).
Dari segi indikator aspek peningkatan mutu, keberhasilan implementasi MBS dapat dilihat dari meningkatnya prestasi akademik maupun nonakademik Sedangkan indikator tata layanan pendidikan ditunjukkan oleh sejauh mana peningkatan layanan pendidikan di sekolah itu terjadi. Layanan yang lebih baik kepada siswa melalui pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kondisi sekolah, akan menyebabkan proses pembelajaran akan menjadi lebih efektif, serta siswa pun menjadi lebih aktif dan kreatif karena mereka berada dalam lingkungan belajar yang menyenangkan. Tata layanan pendidikan yang berkualitas mengakibatkan prestasi siswa juga meningkat, baik dari aspek akademik maupun nonakademik. Dampak positif lainnya dari tata layanan pendidikan yang berkualitas ialah menurunnya jumlah siswa mengulang kelas atau yang drop-out. Uraian di atas menunjukkan bahwa sekolah yang telah berhasil menerapkan MBS akan tercermin dari adanya kinerja sekolah yang kian membaik atau meningkat. Dampak dari meningkatnya kinerja sekolah adalah pengelolaan sekolah menjadi lebih efektif dan efisien.
Di samping kinerja sekolah tersebut, indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi MBS adalah meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah yang menjadikan sekolah lebih demokratis, transparan dan akuntabel.
Nurkholis (2003:271-282) menyatakan bahwa ukuran keberhasilan implemen-tasi MBS di Indonesia dapat dinilai setidaknya dari sembilan kriteria.
1)      Pertama, jumlah siswa yang mendapat layanan pendidikan semakin meningkat.
2)      Kedua, kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik, yang berdampak pada peningkatan prestasi akademik dan nonakademik siswa.
3)      Ketiga, tingkat tinggal kelas menurun dan produktivitas sekolah semakin baik. Maksudnya, rasio antara jumlah siswa yang mendaftar dengan jumlah siswa yang lulus menjadi lebih besar. Siswa yang tinggal kelas menurun karena (a) siswa semakin semangat datang ke sekolah dan belajar di rumah dengan dukungan orang tua dan lingkungannya, (b) pembelajaran di sekolah semakin baik karena kemampuan mengajar guru menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Aspek produktivitas sekolah meningkat disebabkan karena (a) peningkatan efisiensi dalam penggunaan berbagai sumber daya di sekolah, dengan memberdayakan peran serta masyarakat, isntitusi, dan tenaga kependidikan secara demokratis dan efisien, serta (b) peningkatan efektivitas dengan tercapainya berbagai tujuan pendidikan yang diterapkan.
4)      Keempat, relevansi pendidikan semakin baik, karena program-program sekolah dibuat bersama-sama dengan warga masyarakat dan tokoh masyarakat, baik dari aspek pengembangan kurikulum maupun sarana dan prasarana sekolah yang disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan masyarakat.
5)      Kelima, terjadinya keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan karena penentuan biaya pendidikan tidak dilakukan secara pukul rata, tetapi didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Biaya pendidikan pada tingkat dan jenis pendidikan serupa antara daerah yang satu dengan daerah lainnya akan berlainan menurut kekuatan ekonomi warganya.
6)      Keenam, meningkatnya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah, baik yang menyangkut keputusan instruksional maupun organisasional. Ketujuh, iklim dan budaya kerja sekolah semakin baik, yang pada akhirnya berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Kedelapan, kesejahteraan guru dan staf sekolah membaik. Kesembilan, terjadinya demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Dilihat dari aspek kelembagaannya, maka ukuran keberhasilan Implementasi MBS dapat dilihat dari ciri-ciri sekolah yang telah melaksanaan MBS. Adapun ciri-ciri sekolah yang melaksanaan MBS



Referensi
Purwantini. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. http://manajemenberbasissekolah-purwantini.blogspot.com/2007/07/manajemen-berbasis-sekolah.html. Diakses 22 Nopember 2013
Muiz, Abdul. 2008. Manajemen Berbasis Sekolah. http://amcreative.wordpress.com/manajemen-berbasis-sekolah/. Diakses 22 Nopember 2013
Bagus, Ngah. 2013. Materi Kuliah Manajemen Sumber Daya. http://congkodok.blogspot.com/2013/03/materi-kuliah-manajemen-sumber-daya.html. Diakses 22 Nopember 2013
M-Edukasi. 2013. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). http://www.m-edukasi.web.id/2013/02/penerapan-manajemen-berbasis-sekolah-mbs_14.html. Diakses 22 Nopember 2013
_________. 2013. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan. http://www.m-edukasi.web.id/2013/02/strategi-peningkatan-mutu-pendidikan.html Diakses 22 Nopember 2013
_________. 2013. Pengertian Manajemen Sekolah. http://www.m-edukasi.web.id/2013/02/pengertian-manajemen-berbasis-sekolah.html. Diakses 22 Nopember 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar