MANAJEMEN
BERBASIS sekolah
A.
Pengertian
Manajemen Berbasis Kelas
Istilah manajemen
berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”. MBS
merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat
sekolah ( pelibatan masyarakat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan alternatif baru dalam
pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas
sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk
alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. Secara umum,
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai
model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan
mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung
semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa,
dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional.
Lebih lanjut istilah
manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah.
Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan
administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari
administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi (administrasi
merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen
identik dengan administrasi. Dalam hal ini, istilah manajemen diartikan sama
dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk
mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan
efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Pengertian manajemen menurut Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan
pada kita bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, maka kita tidak bergerak
sendiri, tetapi membutuhkan orang lain untuk bekerja sama dengan baik.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai
fungsi yang sama, yaitu: merencanakan (planning), mengorganisasikan
(organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating),
mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation). Menurut Gaffar (1989)
mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses
kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.
B.
Tujuan
Manajemen Berbasis Kelas
a.
Meningkatkan mutu pendidikan melalui
kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya
yang tersedia;
b.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah
dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan
bersama;
c.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah
kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
d.
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar
sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Kewenangan yang
bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat
efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut:
a.
Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah
membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
b.
Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber
daya lokal.
c.
Efektif dalam melakukan pembinaan
peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat
putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d.
Adanya perhatian bersama untuk mengambil
keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan
perubahan perencanaan.
C. Manfaat Manajemen Berbasis Kelas
MBS memberikan beberapa
manfaat diantaranya
a.
Dengan kondisi setempat, sekolah dapat
meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada
tugasnya;
b.
Keleluasaan dalam mengelola sumberdaya
dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong
profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun
pemimpin sekolah;
c.
Guru didorong untuk berinovasi;
d.
Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan
setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan
masyarakat sekolah dan peserta didik
D. Paradigma Manajemen Berbasis
Sekolah
Dengan diberlakukannya
otonomi daerah, maka sebagai konsekwensi logis bagi manajemen pendidikan di
Indonesia adalah perlu dilakukannya penyesuaian terhadap manajemen paradigma
lama menuju manajemen paradigma baru yang lebih bernuansa otonomi dan yang
lebih demokratis Pergeseran paradigma pendidikan dasar dan menengah telah
tercermin dalam visi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN
1999 ” mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan
berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif,
berwawasan kebangsaan, cerdas sehat, disiplian, bertanggung jawab, trampil,
serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.”Amanat GBHN ini menyiratkan
suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponen bangsa terhadap
prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun dalam
mempersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era tanpa batas ke depan.
MBS bermaksud
mengembalikan sekolah kepada pemiliknya dalam arti yang mengetahui perkembangan
sekolah baik di bidang mutu maupun lainya tergantung pada sekolah dan
masyarakat partisipannya. Kepala sekolah merupakan orang yang paling tahu
tentang prestasi guru-gurunya, kekurangan buku, sarana-prasarana yang
menyangkut proses pembelajaran. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus
dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin
peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekolahnya.
Salah satu cara menuju
peningkatan mutu dan relevansi adalah demoktratisasi, partisipasi, dan
akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah guru, dan masyarakat adalah peran
utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala
keputuisan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus
dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak. Masyarakat adalah stakeholder
pendidikan yang memiliki kepentingan akan keberhasilan pendidikan di sekolah.,
karena mereka adalah pembayar pendidikan baik melalui uang sekolah maupun pajak
sehingga sudah sewajarnya sekolah bertangggung jawab kepada masyararakat.Bentuk
stakeholder masyarakat tersebut adalah Dewan Komite Sekolah dan Dewan
Pendidikan di tingkat kota/kabupaten Kemandirian sekolah sangat diharapkan oleh
pemerintah terutama pada kebijakan desentralisasi pendidikan.Namun untuk sampai
pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap
satuan pendidikan diperlukan program yang sistematis dengan melakukan ”
capasity building ”Untuk melakukan kegiatan ” capasity building ” perlu
tahapan-tahapan agar arahnya terarah dan terukur . Ada empat tahapan yang perlu
dilalui untuk kegiatan tersebut . Masing-masing tahap pengembangan dilakukan
terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang mempunyai karateristik yang
setara. Capasity building dilakukan untuk meningkatkan ( up grade ) suatu
kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap
berikutnya. Keempat tahap tersebut adalah:
1.
Tahap Pra format, ialah tahap dimana
satuan pendidkan belum memiliki standar formal pendidikan masih belum terpenuhi
sebagai sumber-sumber pendidikan dan perlu ditingkatkan ke tahap berikutnya.
2.
Tahap Formalitas, ialah sekolah yang
sudah memiliki sumber-sumber pendidikan secara minimal. Satuan pendidikan
tersebut sudah memiliki standar teknis minimal seperti kualifikasi guru,
juimlah dan kualitas ruang kelas, kualitas buku serta j7umlah kualitas
pendidikan lainnya. Dengan capasity building sekolah dapat meningkatkan
kemampuan administratur dan pelaksanaan pendidikandan dapat meningkatkan
pembelajarannya lebih kreatif dan inovatif. Jika satuan pendidikan tersebut
sudah berhasil ditingkatkan lagi ke tingkat transsional. Keberhasilan tersebut
dapat diukur dengan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama
menyangkut output pendidikan seperti penurunan tingkat putus sekolah, mengulang
kelas , kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan
sekolah.
3.
Tahap Transisional, ialah satuan pendidikan
sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti
kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal. Meningkatkan
kreativitan guru , pendayagunaan perpustakaan, sekolah secara optimal.
4.
Tahap otonomi, pada tahap ini dapat
dikatakan sekolah sudah mencapai tahap penyelesaian capasity building menuju
profesionalisme pendidikan ke pelayanan pendidikan yang bermutu.Satuan
pendidikan sudah dianggap dapat memberikan pelayanan di atas Standar Pelayanan
Minimal dan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan
lainnya.
Dari uraian di atas,
dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu antara lain:
1.
Melaksanakan program menjadi
merumuskan/melaksanakan program.
2.
Keputusan terpusat menjadi keputusan
bersama/partisipatif.
3.
Ruang gerak terbatas menjadi ruang gerak
fleksibel.
4.
Sentralistik menjadi desentralistik.
5.
Individual menjadi kerjasama
6.
Basis birokratik menjadi basis
profesional
7.
Diatur menjadi mandiri
8.
Malregulasi menjadi deregulasi
9.
Informasi terbatas menjadi informasi
terbuka
10.
Boros menjadi efisien
11.
Pendelegasian menjadi pemberdayaan
12.
Organisasi vertical menjadi organisasi
horizontal
Pada paradigma lama,
tugas dan fungsi sekolah hanya melaksanakan program dari pada mengambil
inisiatif merumuskan dan melaksanakan program yang dibuat sendiri oleh sekolah.
E. Konsep Dasar Manajemen Berbasis
Sekolah
Model Berbasis Kelas adalah
model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan
mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara
bersama/partisipatif. Untuk memenuhi kebutuhan sekolah atau untuk mencapai
tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Otonomi diartikan
kemandirian, artinya otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan
mengurus kebutuhan warga sekolah yang didukung kemampuan tertentu sesuai dengan
peraturan perundang- undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan
bersama merupakan cara pengambilan keputusan melalui penciptaan lingkungan yang
terbuka dan demokratis dimana warga sekolah langsung terlibat dalam pengambilan
keputusan. Sekolah dapat memberdayakan warga sekolah berupa pemberian
kewenangan, tanggung jawab, kebersamaan dalam pemecahan masalah serta pemberian
kepercayaan dan penghargaan.
Manajemen Berbasis
Sekolah memiliki karateristik yang harus dipahami oleh sekolah yang akan
menerapkannya yang meliputi komponen pendidikan dan perlakuannya pada setiap
tahap pendidikan input, prose dan outputnya. Pada hasil pendidikan (output )
diharapkan mendapatkan prestasi akademik dan non akademik. Prestasi akademik
misalnya NEM, lomba karya ilmiah, olympiade, siswa berprestasi. Sedangkan non
akademin berupa kesenian, olah raga, kejujuran, kerajinan, pramuka dan
lain-lain. Pada proses pendidikan biasanya penekanannya pada :
1.
Proses Belaja Mengajar yang
efektifitasnya tinggi .
Proses
belajar mengajar yang menekankan pada bekerja, belajar hidup bersama dan belajar
menjadi diri sendiri.
2.
Kepemimpinan sekolah yang tangguh.
Kepala
sekolah memiliki kemampuan dan kepemimpinan yang tangguh , kuat dan mampu
meningkatkan mutu sekolah sesuai dengan visi, misi tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan.
3.
Lingkungan sekolah yang tertib, aman,
dan nyaman.
4.
Pengelolaan tenaga pendidikan yang
efektif .
Kebutuhan
tenaga, analisis, perencanaan, pengembangan, evaluasi, hubungan kerja.
5.
Sekolah memiliki budaya mutu.
Sekolah
memiliki kualitas informasi untuk perbaikan hasil diikuti penghargaan atau sanksi,
warga merasa aman, warga sekolah merasa memiliki sekolah.
6.
Sekolah memiliki kebersamaan yang
kompak.
Sekolah
memiliki budaya kerjasama antar individu tanpa adanya kelompok-kelompok tertentu
yang dapat menghambat kemajuan sekolah.
7.
Sekolah memiliki kewenangan.
Kewenangan
sekolah merupakan kesanggupan kerja dan tidak menggantungkan orang lain .
Kepala sekolah mempunyai kreatifitas yang tinggi untuk menuju sekolah yang lebih
baik.
8.
Partisipasi warga sekolah dan
masyarakat.
Hubungan
antara sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupan sekolah yang paling
tinggi terutama di bidang non akademik dan akademik.
9.
Keterbukaan ( transparasi ) manajemen.
Masalah
manajemen perlu keterbukaan antara warga sekolah dan masyarakat terutama komite
sekolah. Apalagi manajemen tersebut menyangkut perencanaan anggaran (RAPBS) dan
penggunaan uang sekolah. Komite sekolah harus tahu terutama menyangkut anggaran
sekolah. Contoh : DOP, BOS, Block Grant, dan anggaran rutin sekolah .
10. Sekolah
memiliki kemauan untuk berubah
Perubahan
sekolah diharapkan menuju yang lebih baik. Perubahan tersebut dapat berupa
perubahan fisik sekolah, prestasi akademik dan non akademik.
11. Sekolah
melakukan evaluasi dan perbaikan.
Evaluasi
bukan sekedar untuk memenuhi daya serapp siswa menerima pelajaran. Namun,
evaluasi dapat dipakai tolak ukur untuk meningkatkan mutu sekolah pada proses
belajar mengajar selanjutnya. Sekolah harus selalu melaksanakan evaluasi secara
terus menerus baik berupa pengayaan dan perbaikan untuk siswa demi peningkatan
mutu di sekolah.
12. Sekolah
responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan.
Sekolah
harus mampu mengantisipasi setiap kejadian yang adaa di sekolah terutama menyangkut
mutu sekolah. Sekolah tidak pasif melainkan anatisipatif mencari ke sekolah –
sekolah lain atau ke lembaga-lemabaga pendidikan dengan kata lain menjemput
bola demi kemajuan sekolah.
13. Sekolah
memiliki komunikasi yang baik.
Sekolah
memiliki komunikasi yang baik terutama antara warga sekolah.Kebersamaan antar
warga sekolah dapat mengantar sekolah ke hal-hal yang lebih bermutu. Contoh Kelompok
Kerja Guru di setiap Gugus Sekolah.
14. Sekolah
memiliki Akuntabilitas.
Sekolah
memiliki tanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan penyelenggaraan program
sekolah. Akuntabilitas berbentuk laporan prestasi yang harus dilaporkan kepada
pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program, pemerintah
dapat menilai apakah program MBS dapat mencapai tujuan atau tidak. Jika
mencapai tujuan maka diberi penghargaan atau sebaliknya jika tidak berhasil perlu
diberikan sanksi atau teguran atas kinerjanya yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan
para orang tua murid dapat memberikan penilaian terhadap program MBS yang dapat
meningkatkan prestasi anak-anaknya atau kinerja sekolahnya. Jika berhasil orang
tua dapat memberikan dorongan dan semangat kepada sekolah,atau sebaliknya jika
tidak berhasil orang tua dapat meminta pertanggung jawaban dan penjelasan
sekolah atas kegagalan yang telah dilakukan.
Pada input pendidikan,
1.
Pendidikan memiliki kebijakan, tujuan
dari sasaran program yang jelas.
Kebijakan
tujuan dan sasaran sekolah harus disosialisasikan kepada semua warga sekolah,sehingga
tertanam pemikiran,tindakan,kebiasaan dan karakter yang kuat o- leh warga
sekolah.
2.
Sumber daya yang tersedia.
Sekolah
harus memiliki sumberdaya yang kuat baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya
lainnya berupa uang, peralatan, perlengkapan, bahan dan lain-lain.
3.
Staf yang kompeten dan dedikasi tinggi.
4.
Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
Kepala
sekolah memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi untuk mencapai prestasi serta
anak didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi
sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
5.
Fokus pada pelanggan
Anak
didik merupakan fokus utama semua kegiatan proses pembelajaran yang dikerahkan
di sekolah dengan tujuan utama untuk meningkatkan mutu dan kepuasan siswa.
6.
Manajemen
Kelengkapan
dan kejelasan manajemen yang dibutuhkan sekolah akan membantu kepala sekolah
mengelola sekolahnya dengan efektif.
F. Peningkatan mutu secara berkelanjutan
Prinsip utama
pelaksanaan MBS ada 5 (lima) hal yaitu:
1.
Fokus pada mutu
2.
Bottom-up planning and decision making
3.
Manajemen yang transparan
4.
Pemberdayaan masyarakat
Dalam
mengimplementasikan MBS terdapat 4 (empat) prinsip yang harus difahami yaitu:
1.
kekuasaan;
Kekuasaan Kepala
sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan
dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem pendidikan
sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk memungkinkan sekolah berjalan
dengan efektif dan efisien. Kekuasaan yang dimiliki kepala sekolah akan efektif
apabila mendapat dukungan partisipasi dari berbagai pihak, terutama guru dan
orangtua siswa. Seberapa besar kekuasaan sekolah tergantung seberapa jauh MBS
dapat diimplementasikan. Pemberian kekuasaan secara utuh sebagaimana dalam
teori MBS tidak mungkin dilaksanakan dalam seketika, melainkan ada proses
transisi dari manajemen yang dikontrol pusat ke MBS.
Kekuasaan yang lebih
besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu
dilaksanakan dengan demokratis antara lain dengan:
a)
Melibatkan semua fihak, khususnya guru
dan orangtua siswa.
b)
Membentuk tim-tim kecil di level sekolah
yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugasnya
c)
Menjalin kerjasama dengan organisasi di
luar sekolah.
2.
pengetahuan;
Pengetahuan Kepala
sekolah dan seluruh warga sekolah harus menjadi seseorang yang berusaha secara
terus menerus menambah pengetahuan dan keterampilan dalam rangka meningkatkan
mutu sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya
manusia (SDM) lewat berbagai pelatihan atau workshop guna membekali guru dengan
berbagai kemampuan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Pengetahuan
yang penting harus dimiliki oleh seluruh staf adalah:
a)
Pengetahuan untuk meningkatkan kinerja
sekolah,
b)
Memahami dan dapat melaksanakan berbagai
aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan quality assurance, quality
control, self assessment, school review, bencmarking, SWOT,dll)
3.
sistem informasi;
Sistem Informasi
Sekolah yang melakukan MBS perlu memiliki informasi yang jelas berkaitan dengan
program sekolah. Informasi ini diperlukan agar semua warga sekolah serta
masyarakat sekitar bisa dengan mudah memperoleh gambaran kondisi sekolah.
Dengan informasi tersebut warga sekolah dapat mengambil peran dan partisipasi.
Disamping itu ketersediaan informasi sekolah akan memudahkan pelaksanaan
monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas sekolah. Infornasi yang amat penting
untuk dimiliki sekolah antara lain yang berkaitan dengan: kemampuan guru dan
Prestasi siswa.
4.
sistem penghargaan.
Sistem Penghargaan
Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan untuk
memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang berprestasi. Sistem
penghargaan ini diperlukan untuk mendorong karier warga sekolah, yaitu guru,
karyawan dan siswa.
G. Proses Penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah
Banyak manfaat yang
telah dapat dirasakan baik oleh pemerintah daerah maupun pihak sekolah yang
secara langsung menjadi sasaran pelaksanaan. Hal ini karena dalam melaksanakan
program-program ini diterapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS),
mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan proses pelaporan dan
umpan baliknya.
Dengan kata lain
program-program yang dilaksanakan menganut prinsip-prinsip demokratis,
transparan, profesional dan akuntabel. Melalui pelaksanaan program ini para
pengelola pendidikan di sekolah termasuk kepala sekolah, guru, komite sekolah
dan tokoh masyarakat setempat dilibatkan secara aktif dalam setiap tahapan
kegiatan. Disinilah proses pembelajaran itu berlangsung dan semua pihak saling
memberikan kekuatan untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan sekolah.
Adapun proses penerapan
MBS dapat ditempuh antara lain dengan langkah-langkah sbb :
Ø Memberdayakan
komite sekolah/majelis madrasah dalam peningkatan mutu pembelajaran di sekolah
Ø Unsur
pemerintah Kab/Kota dalam hal ini instansi yang terkait antara lain Dinas
Pendidikan, Badan Perencanaan Kab/Kota, Departemen Agama (yang menangani
pendidikan MI, MTs dan MA), Dewan Pendidikan Kab/Kota terutama membantu dalam
mengkoordinasikan dan membuat jaringan kerja (akses) ke dalam siklus kegiatan
pemerintahan dan pembangunan pada umumnya dalam bidang pendidikan.
Ø Memberdayakan
tenaga kependidikan, baik tenaga pengajar (guru), kepala sekolah, petugas
bimbingan dan penyuluhan (BP) maupun staf kantor, pejabat-pejabat di tingkat
kecamatan, unsur komite sekolah tentang Manajemen Berbasis Sekolah,
pembelajaran yang bermutu dan peran serta masyarakat.
Ø Mengadakan
pelatihan dan pendampingan sistematis bagi para kepala sekolah, guru, unsur
komite sekolah pada pelaksanaan peningkatan mutu pembelajaran
Ø Melakukan
supervisi dan monitoring yang sistematis dan konsisten terhadap pelaksanaan
kegiatan pembelajaran di sekolah agar diketahui berbagai kendala dan masalah
yang dihadapi, serta segera dapat diberikan solusi/pemecahan masalah yang
diperlukan.
Ø Mengelola
kegiatan yang bersifat bantuan langsung bagi setiap sekolah untuk peningkatan
mutu pembelajaran, Rehabilitasi/Pembangunan sarana dan prasarana Pendidikan,
dengan membentuk Tim yang sifatnya khusus untuk menangani dan sekaligus
melakukan dukungan dan pengawasan terhadap Tim bentukan sebagai pelaksana
kegiatan tersebut.
H. Faktor Pendukung Keberhasilan
Manajemen Berbasis Sekolah
1.
Kepemimpinan dan manajemen sekolah yang
baik
MBS
aan berhasi jika ditopang oleh kemampuan professional kepala sekolah atau
madrasah dalam memimpin dan mengelola sekolah atau madrasah secara efektif dan
efisien, serta mampu menciptakan iklim organisasi yang kondusif untuk proses
belajar mengajar.
2.
Kondisi social, ekonomi dan apresiasi
masyarakat terhadap pendidikan
Faktor
eksternala yang akan turut menentukan keberhasilan MBS adalah kondisi tingkat
pendidikan orangtua siswa dan masyarakat, kemampuan dalam membiayai pendidikan,
serta tingkat apresiasi dalam mendorong anak untuk terus belajar.
3.
Dukungan pemerintah
Faktor
ini sangat membantu efektifitas implementasi MBS terutama bagi sekolah atau
madrasah yang kemampuan orangtua/ masyarakatnya relative belum siap memberikan
kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan. alokasi dana pemerintah dan
pemberian kewenangan dalam pengelolaan sekolah atau madrasah menjadi penentu
keberhasilan.
4.
profesionalisme
Faktor
ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan kinerja sekolah atau
madrasah. Tanpa profesionalisme kepala sekolah atau madrasah, guru, dan
pengawas, akan sulit dicapai program MBS yang bermutu tinggi serta prestasi
siswa.
I. Tugas dan Fungsi Sekolah
Tugas dan fungsi
sekolah adalah mengelola penyelenggaraan MBS di sekolah masing-masing.
Mengingat sekolah merupakan unit terdepan dalam penyelenggaraan MBS, maka
sekolah menjalankan tugas dan fungsi sebagai berikut :
1.
Menyusun rencana dan program pelaksanaan
MBS dengan melibatkan semua unsur sekolah
2.
Mengkoordinasikan dan menyerasikan
segala sumberdaya yang ada di sekolah dan di luar sekolah untuk mencapai
sasaran MBS yang telah ditetapkan.
3.
Melaksanakan MBS secara efektif dan
efisien
4.
Melaksanakan pengawasan dan bimbingan
dalam pelaksanaan MBS untuk mencapai sasaran MBS
5.
Pada setiap akhir tahun ajaran melakukan
evaluasi untuk menilai tingkat ketercapaian sasaran program MBS yang telah
ditetapkan guna untuk menentukan sasaran baru pro- gram MBS tahun-tahun
berikutnya.
6.
Menyusun laporan-laporan program MBS
secara lengkap
7.
Mempertanggungjawabkan hasil
penyelenggaraan MBS kepada semua pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan uraian di
atas dalam pelaksanaan MBS perla dilakukan monitoring dan evaluasi dengan
tujuan dapat mengukur tingkat kemajuan pendidikan baik pada tingkat sekolah,
dinas pendidikan tingkat kota/kabupaten, dinas propinsi maupun pusat. Monitoring
menghasilakn informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan.
Dengan monitoring sdan evaluasi kita
dapat melihat apakah MBS benar-benar mampu menyelenggarakan sekolah dengan baik
khususnya dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Monitoring hádala statu proses
pemantauan untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan MBS. Fokus
monitoring pada pelaksanaannya. Hasil monitoring dapat digunakan untuk memberi
masukan ( umpan balik ) bagi perbaikan pelaksanaan MBS baik pada konteks,
input, proses, output maupun dampaknya.
J. Strategi Sukses Implementasi MBS
1. Strategi Sukses Implementasi MBS
Beberapa prinsip MBS
yang dapat digunakan sebagai acuan bagi sekolah dalam menerapkan MBS, yaitu
otonomi sekolah, fleksibilitas, partisipasi dan akuntabilitas untuk mencapai
sasaran mutu sekolah.
Menurut Wohlstetter dan
Mohrman, dkk. (1997), terdapat empat kewenangan (otonomi) dan tiga prasyarat
yang bersifat organisasional yang seharusnya dimiliki sekolah dalam
mengimplementasikan MBS. Hal itu berkaitan dengan: (1) kekuasaan (power) untuk
mengambil keputusan, (2) pengetahuan dan keterampilan, termasuk untuk mengambil
keputusan yang baik dan pengelolaan secara profesional, (3) informasi yang
diperlukan oleh sekolah untuk mengambil keputusan, (4) penghargaan atas
prestasi (reward), (5) panduan instruksional (pembelajaran), seperti rumusan
visi dan misi sekolah yang menfokuskan pada peningkatan mutu pembelajaran, (6)
kepemimpinan yang mengupayakan kekompakan (kohesif) dan fokus pada upaya
perbaikan atau perubahan, serta (7) sumber daya yang mendukung.
Di samping itu,
penerapan MBS di sekolah juga hendaknya memperhatikan karakteristik dari MBS,
baik dilihat dari aspek input, proses dan output. Pemahaman terhadap prinsip
MBS dan karaketeristik MBS akan membawa sekolah kepada penerapan MBS yang lebih
baik. Pada akhirnya mutu pendidikan yang diharapkan dapat tercapai dan
dipertanggungjawabkan, karena pelaksanaannya dilakukan secara partisipatif,
transparan, dan akuntabel.
Menurut Slamet P.H
(2001), pelaksanaan MBS merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus
dan melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, strategi utama yang perlu diditempuh
dalam melaksanakan MBS adalah sebagai berikut.
v Pertama,
mensosialiasikan konsep MBS. Sosialisasi dilakukan kepada seluruh warga
sekolah, yaitu guru,siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan
unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, dan sebagainya) melalui
seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media masa dengan memperhatikan sistem,
budaya, dan sumber daya sekolah.
v Kedua,
melakukan analisis situasi. Analisis sistuasi akan menghasilkan tantangan
nyata, yang harus dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah kesenjangan antara
keadaan sekarang dan keadaan yang diharapkan. Karena itu, besar kecilnya
ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan
(idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan yang ada.
v Ketiga,
merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai melalui pelaksanaan MBS,
berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi. Kriteria kesiapan setiap fungsi dan
faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria ini digunakan sebagai standar atau
kriteria untuk mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.
v Keempat,
mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan
situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai
tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi
fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan
yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud di
antaranya meliputi pengem-bangan: kurikulum, tenaga kependidikan dan
nonkependidikan, siswa, iklim akademik sekolah, hubungan sekolah-masyarakat,
fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
v Kelima,
menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis
SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan
dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi
yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung
tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor
yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap
keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal
maupun eksternal. Tingkat kesiapan setiap fungsi harus memadai. Paling tidak
memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional,
yang dinyatakan sebagai kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal, serta
peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan
yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan sebagai
kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal, dan ancaman, bagi faktor
yang tergolong faktor eksternal.
v Keenam,
memilih langkah-langkah pemecahan masalah atau tantangan, yakni tindakan yang
diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Agar
tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah
ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut
langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakikatnya merupakan tindakan
mengatasi kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang.
Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor kekuatan
dan/atau peluang.
v Ketujuh,
membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, berikut
program-program untuk merealisasikan rencana tersebut. Perencanaan itu
dilakukan secara partisipatif dan berdasarkan pada pemecahan masalah. Sekolah
tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen
berbasis sekolah, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk rencana jangka
pendek, menengah, dan panjang.
v Kedelapan,
melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek
manajemen berbasis sekolah. Kesembilan, melakukan pemantauan serta evaluasi
proses hasil MBS. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik
bagi perbaikan penyelenggaraan. Sementara hasil evaluasi dapat digunakan untuk
mengukur tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan.
Nurkholis (2003:132)
mengemukakan sembilan strategi keberhasilan implementasi MBS.
1)
Pertama, sekolah harus memiliki otonomi
terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan,
pengembangan pengetahuan dan ketrampilan secara berkesinambungan, akses
informasi ke segala bagian, serta pemberian penghargaan kepada setiap pihak
yang berhasil. Mulyasa (2005: 41) menyatakan bahwa salah satu bentuk otonomi
sekolah adalah kebijakan pengembangan kurikulum yang mengacu kepada standar
kompetensi, kompetensi dasar, dan standar isi, serta pembelajaran beserta
sistem evaluasinya, sepenuhnya menjadi wewenang sekolah, yang disesuaikan
dengan kebutuhan siswa dan masyarakat yang dilakukan secara fleksibel.
2)
Kedua, adanya peran serta masyarakat
secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap
kurikulum dan pembelajaran dan non- pembelajaran. Menurutnya, sekolah harus
lebih banyak mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun
sekolah adalah bagian dari masyarakat secara luas. Wujud dari partisipasi
masyarakat dan orang tua siswa bukan hanya sebatas dalam bantuan dana, tetapi
lebih dari itu dalam memikirkan peningkatan kualitas sekolah. Misalnya, partisipasi
masyarakat dalam merencanakan dan mengembangkan program-program
pendidikan.
3)
Ketiga, adanya kepemimpinan sekolah yang
kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah
secara efektif. Kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan
dan pengembangan sekolah secara umum. Dalam MBS kepala sekolah berperan sebagai
designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Oleh karena itu, pengangkatan
kepala sekolah harus didasarkan atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan, dan
bukan lagi didasarkan atas jenjang kepangkatan. Menurut Mulyasa (2005:98),
Kepala Sekolah merupakan “sosok kunci” (the key person) keberhasilan
peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dalam kerangka implementasi MBS.
Oleh karena itu, dalam implementasi MBS kepala sekolah harus memiliki visi,
misi, dan wawasan yang luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan
profesional dalam mewujudkannya melalui perencanaan, kepemimpinan, manajerial,
dan supervisi pendidikan. Kepala sekolah juga dituntut untuk menjalin kerjasama
yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program pendidikan di
sekolah. Singkatnya, dalam implementasi MBS, kepala sekolah harus mempu
berperan sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator
dan motivator.
4)
Keempat, adanya proses pengambilan
keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang efektif. Dalam
pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan
memperhatikan aspirasi dari bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah
adalah murid dan orangtuanya, serta masyarakat dan para guru.
5)
Kelima, semua pihak harus memahami peran
dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh. Untuk bisa memahami peran dan
tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi tentang konsep MBS.
6)
Keenam, adanya panduan (guidelines) dari
Departeman Pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di
sekolah secara efisien dan efektif. Dengan dasar hukum pelaksanaan MBS yang
tertuang adalam UU No. 25 Tahun 2000, dan UU No. 20 Tahun 2003, Departemen
Pendidikan diharapkan memberikan panduan sebagai rambu-rambu dalam pelaksanaan
MBS yang sifatnya tidak mengekang dan membelenggu sekolah.
7)
Ketujuh, sekolah harus transparan dan
akuntabel yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggungjawaban tahunan.
Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap semua
stakeholder. Untuk itu, sekolah harus dikelola secara transparan, demokratis,
dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak
terkait.
8)
Kedelapan, penerapan MBS harus diarahkan
untuk pencapaian kinerja sekolah, khususnya pada peningkatan prestasi belajar
siswa.
9)
Kesembilan, implementasi diawali dengan
sosialisasi konsep MBS, identifikasi peran masing-masing, pembangunan
kelembagaan (capacity building), pengadaan pelatihan-pelatihan terhadap peran
barunya, implementasi pada proses pembelajaran, monitoring dan evaluasi, serta
melakukan perbaikan-perbaikan.
Di samping itu,
pelaksanaan MBS perlu didukung oleh iklim sekolah yang memadai, yaitu iklim
sekolah yang kondusif bagi terciptanya suasana yang aman, nyaman dan tertib,
sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan
(enjoyable learning). Iklim sekolah akan mendorong terwujudnya proses
pembelajaran yang efektif, yang lebih menekankan pada learning to know,
learning to do, learning to be, dan learning to live together. Untuk mendukung
semua itu, sekolah perlu dilengkapi oleh sarana dan prasarana pendidikan, serta
sumber-sumber belajar yang memadai.
2. Faktor Pendukung Kesuksesan
Implementasi MBS
Menurut Nurkholis
(2003:264), ada enam faktor pendukung keberhasilan implementasi MBS. Keenamnya
mencakup: political will, finansial, sumber daya manusia, budaya sekolah,
kepemimpinan, dan keorganisasian. Keberhasilan
implementasi MBS di Indonsia tidak terlepas dari dasar hukum implementasi MBS
yang tertuang dalam berbagai kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah juga
sebagai dasar bagi sekolah untuk lebih leluasa dalam mengembangkan pendidikan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Salah satu contoh dukungan
pemerintah dalam pelaksanaan MBS, adalah adanya panduan manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah (MPMBS).
Aspek finansial atau
keuangan merupakan faktor penting bagi sekolah dalam mengimplementasikan MBS.
Kalau mencemati perjalanan implementasi MBS di Indonesia, perhatian pemerintah
dari aspek finansial dalam mendukung implementasi MBS di Indonesia baru dirasakan
secara langsung melalui pemberian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
Mulai Tahun 1999 sampai
dengan Tahun 2007 ini, implementasi MBS mendapatkan dukungan dari
lembaga-lembaga donor internasional dan negara-negara tetangga, di antaranya
adalah Unesco, New Zealand Aid, Asian Development Bank, USAID, dan AusAID. Yang
paling menyedihkan adalah banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang setiap
tahunnya memberikan laporan keuntungan yang sangat besar, tetapi kontribusinya
terhadap pendidikan masih sangat rendah. Di samping itu, walaupun UUD 1945 yang
diamandemen mengamanatkan bahwa pemerintah pusat dan daerah harus
mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%, namun dalam prakteknya masih
sangat sulit diterapkan. Jika dukungan pemerintah melalui alokasi anggaran
pendidikan 20% dipenuhi, sebagian dana pendidikan tersebut dapat digunakan
untuk mendukung kesuksesan implementasi MBS.
Sumber daya manusia
merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan implementasi
MBS. Ketersedian sumber daya manusia yang mendukung implementasi MBS belum
cukup. Karena MBS merupakan hal yang baru dan hanya sebagian orang yang
mempunyai keahlian dan keterampilan dalam mendukung implementasi MBS. Oleh
karena itu, dukungan untuk on the job training, atau in service training dalam
kerangka peningkatan pengetahuan dan kemampuan tentang MBS perlu dilakukan.
Faktor budaya sekolah
rata-rata belum bisa mendukung kesuksesan implementasi MBS. Perubahan dari
budaya sekolah yang telah lama terbentuk dengan manajemen pendidikan yang
sentralistik menuju manajemen pendidikan yang sentralistik masih sulit
dilaksanakan. Budaya yang hanya melaksanakan apa yang ditetapkan pusat masih
melekat pada sebagian besar sekolah. Masih banyak warga sekolah yang tidak
perduli terhadap kemajuan sekolahnya. Oleh karena itu, perlu dibangun budaya
sekolah yang mendukung implementasi MBS, seperti budaya untuk maju, bekerja
keras, inovatif, dan sebagainya untuk mencapai peningkatan mutu sekolah.
Kepemimpinan dan
organisasi yang efektif merupakan faktor penting lainnya untuk keberhasilan
implementasi MBS. Kepemimpinan yang efektif tercapai apabila kepala sekolah
memiliki kemampuan profesional di bidangnya, memiliki bakat atau sifat, serta
memahami kondisi lingkungan sekolah dalam menerapkan kepemim-pinannya. Kepala
sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang mampu berperan sebagai
educator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator.
Di samping itu, sekolah sebagai organisasi harus diubah dan dikembang-kan.
Perubahan dan pengembangan organisasi sekolah harus diawali dari perubahan
individu dan lingkungan kerja secara bertahap, sehingga perubahan sekolah akan
berjalan baik apabila perubahan organisasi itu berdampak pada perbaikan
kehidupan para guru dan stafnya.
3. Ukuran Keberhasilan Implementasi
MBS
Salah satu ukuran
penting yang dapat dilihat dan dirasakan masyarakat terhadap peningkatan
kualitas pendidikan di sekolah adalah prestasi belajar siswa. Ukuran
keberhasilan implementasi MBS tidak terlepas dari tiga pilar kebijakan
pendidikan nasional, khususnya pilar ke dua dan ketiga, yaitu pemerataan dan
peningkatan akses serta peningkatan mutu dan tata layanan. Pada aspek pemerataan dan peningkatan akses,
keberhasilan MBS dapat dilihat dari kemampuan sekolah dan daerah dalam
menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. MBS dikatakan
berhasil apabila jumlah anak usia sekolah yang bersekolah meningkat, khususnya
dari kelompok masyarakat berasal dari daerah pedesaan dan terpencil, keluarga
yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya, gender, serta
penyandang cacat. Ukuran-ukuran kuantitatif yang dapat digunakan adalah nilai
angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi murni (APM), angka transisi
(AT).
Dari segi indikator
aspek peningkatan mutu, keberhasilan implementasi MBS dapat dilihat dari
meningkatnya prestasi akademik maupun nonakademik Sedangkan indikator tata
layanan pendidikan ditunjukkan oleh sejauh mana peningkatan layanan pendidikan
di sekolah itu terjadi. Layanan yang lebih baik kepada siswa melalui
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kondisi sekolah, akan
menyebabkan proses pembelajaran akan menjadi lebih efektif, serta siswa pun
menjadi lebih aktif dan kreatif karena mereka berada dalam lingkungan belajar
yang menyenangkan. Tata layanan pendidikan yang berkualitas mengakibatkan
prestasi siswa juga meningkat, baik dari aspek akademik maupun nonakademik.
Dampak positif lainnya dari tata layanan pendidikan yang berkualitas ialah
menurunnya jumlah siswa mengulang kelas atau yang drop-out. Uraian di atas
menunjukkan bahwa sekolah yang telah berhasil menerapkan MBS akan tercermin
dari adanya kinerja sekolah yang kian membaik atau meningkat. Dampak dari
meningkatnya kinerja sekolah adalah pengelolaan sekolah menjadi lebih efektif
dan efisien.
Di samping kinerja
sekolah tersebut, indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur
keberhasilan implementasi MBS adalah meningkatnya partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan di sekolah yang menjadikan sekolah lebih demokratis,
transparan dan akuntabel.
Nurkholis
(2003:271-282) menyatakan bahwa ukuran keberhasilan implemen-tasi MBS di
Indonesia dapat dinilai setidaknya dari sembilan kriteria.
1)
Pertama, jumlah siswa yang mendapat
layanan pendidikan semakin meningkat.
2)
Kedua, kualitas layanan pendidikan
menjadi lebih baik, yang berdampak pada peningkatan prestasi akademik dan
nonakademik siswa.
3)
Ketiga, tingkat tinggal kelas menurun
dan produktivitas sekolah semakin baik. Maksudnya, rasio antara jumlah siswa
yang mendaftar dengan jumlah siswa yang lulus menjadi lebih besar. Siswa yang
tinggal kelas menurun karena (a) siswa semakin semangat datang ke sekolah dan
belajar di rumah dengan dukungan orang tua dan lingkungannya, (b) pembelajaran
di sekolah semakin baik karena kemampuan mengajar guru menjadi lebih menarik
dan menyenangkan. Aspek produktivitas sekolah meningkat disebabkan karena (a)
peningkatan efisiensi dalam penggunaan berbagai sumber daya di sekolah, dengan
memberdayakan peran serta masyarakat, isntitusi, dan tenaga kependidikan secara
demokratis dan efisien, serta (b) peningkatan efektivitas dengan tercapainya
berbagai tujuan pendidikan yang diterapkan.
4)
Keempat, relevansi pendidikan semakin
baik, karena program-program sekolah dibuat bersama-sama dengan warga
masyarakat dan tokoh masyarakat, baik dari aspek pengembangan kurikulum maupun
sarana dan prasarana sekolah yang disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan
masyarakat.
5)
Kelima, terjadinya keadilan dalam
penyelenggaraan pendidikan karena penentuan biaya pendidikan tidak dilakukan
secara pukul rata, tetapi didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing
keluarga. Biaya pendidikan pada tingkat dan jenis pendidikan serupa antara daerah
yang satu dengan daerah lainnya akan berlainan menurut kekuatan ekonomi
warganya.
6)
Keenam, meningkatnya keterlibatan orang
tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah, baik yang menyangkut
keputusan instruksional maupun organisasional. Ketujuh, iklim dan budaya kerja
sekolah semakin baik, yang pada akhirnya berdampak positif terhadap peningkatan
kualitas pendidikan. Kedelapan, kesejahteraan guru dan staf sekolah membaik.
Kesembilan, terjadinya demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Dilihat
dari aspek kelembagaannya, maka ukuran keberhasilan Implementasi MBS dapat
dilihat dari ciri-ciri sekolah yang telah melaksanaan MBS. Adapun ciri-ciri
sekolah yang melaksanaan MBS
Referensi
Purwantini.
2007. Manajemen Berbasis Sekolah. http://manajemenberbasissekolah-purwantini.blogspot.com/2007/07/manajemen-berbasis-sekolah.html.
Diakses 22 Nopember 2013
Muiz,
Abdul. 2008. Manajemen Berbasis Sekolah.
http://amcreative.wordpress.com/manajemen-berbasis-sekolah/.
Diakses 22 Nopember 2013
Bagus,
Ngah. 2013. Materi Kuliah Manajemen
Sumber Daya. http://congkodok.blogspot.com/2013/03/materi-kuliah-manajemen-sumber-daya.html.
Diakses 22 Nopember 2013
M-Edukasi.
2013. Penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS). http://www.m-edukasi.web.id/2013/02/penerapan-manajemen-berbasis-sekolah-mbs_14.html.
Diakses 22 Nopember 2013
_________.
2013. Strategi Peningkatan Mutu
Pendidikan.
http://www.m-edukasi.web.id/2013/02/strategi-peningkatan-mutu-pendidikan.html
Diakses 22 Nopember 2013
_________.
2013. Pengertian Manajemen Sekolah. http://www.m-edukasi.web.id/2013/02/pengertian-manajemen-berbasis-sekolah.html.
Diakses 22 Nopember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar